Kamis, 10 September 2020

Covid sialan, terimakasih


 Rabu 11 Oktober 2020, karantina hari kedua.

Setelah kontak erat dengan salah satu pasien positif, aku diharuskan menjalani karantina selama 14 hari, gila pikirku.

Selama di kamar kost, segala hal kupikirkan, rasanya karantina ini bukan libur, karena pikiranku tetap bekerja.

Satu hal yang tidak berfaedah yang kulakukan adalah membalas chat-chat lelaki yang penuh basa basi.

Tapi ada satu pembahasan yang menarik, aku mulai bertanya padanya, kenapa aku masih sendiri, padahal aku bisa sombong bila berbicara berapa banyak lelaki yang mendekati.

Dia bilang aku hanya cocok dijadikan sahabat, teman ngobrol, dan teman traveling. 

Aku belum habis pikir, kenapa? Apa yang kamu lihat pertama kali? Dia bilang caraku mengakrabkan diri.

Chat ku tutup dan aku kesal dengan jawabannya. Meski masuk akal, tapi tidak sesuai dengan ekspektasi. Kenapa memangnya? Jawaban dari pertanyaan itu yang sungguh tidak cukup bagiku.

Kembali membuka satu persatu chat yang tidak berfaedah. Penuh basa basi, dan rasanya muak sekali.

"Sudah makan? Aku bawain ya.
"Gimana karantinanya?" Kalau ada apa-apa bilang ya"
Gimana ini? Gimana itu? Dan gimana- gimana lainnya. Muak!

Tapi ada hal yang sangat aku suka dari karantina ini, terlepas dari pertanyaan basa-basi sebelumnya.

Atasanku di kantor juga sangat rutin memberikan perhatian padaku, direkturku, dua orang redakturku, meski belum kalah sama perhatian mbakku, Sandra.

Setiap pagi aku pasti mendapatkan telepon dari mereka, "jangan panik ya, tetep olahraga di kost aja, makan vitamin minum cukup, jangan sampai kamu nda makan, pesen gojek aja makannya, jangan keluar-keluar pokoknya" kata salah satu redakturku.

Tak berselang lama, redaktur yang lain menghubungi, "coba ceritakan gimana kronolginya? Kamu tapi pake masker kan? Gak sampai jabat tangan kan? Kamu ngerasain apa sekarang? Selama karantina ada aja makananmu? Vitamin mu? Makan buah ya nit. Jangan panik pokoknya". 

Lepas itu, direktur ku selanjutnya "mati kah kamu?" Akh selalu dibuka dengan kata yang menjengkelkan, lalu disambung tawa, belum bang kataku. "Kamu sentuhan sama dia? Kamu Deket sama dia? Kamu interaksinya kayak apa sama dia? Dan pertanyaan pertanyaan semacam itu lah.

Meski kadang kami berantem dan bersitegang hingga kaca meja pecah dan air mata jatuh saat bekerja dikantor, tapi ini yang bikin betah, sangat betah, kepedulian dan rasa saling memiliki yang aku yakin susah mendapatkannya di tempat lain.

Kuakui, perusahaan tempatku bekerja juga sedang goyah saat ini, satu persatu karyawan mengundurkan diri karena gaji kami yang tidak selancar dulu. Tak jarang dari karyawan yang mulai mencari pekerjaan baru agar punya pegangan ketika keluar nantinya.

Akupun sempat berpikir demikian, bahkan dua tawaran menggiurkan menungguku untuk mengatakan "ya".

Tertarik, apalagi gaji dijamin lancar, tapi aku sama sekali tidak ingin berpisah dengan teman-teman kantorku, kalaupun satu persatu mereka pergi, aku akan tetap membersamai atasan-atasanku.
Hingga mereka sendiri yang menyuruh aku pindah ❤️



Berau, pagi hari. 
Ditulis dalam keadaan rindu❤️




Tidak ada komentar:

Posting Komentar