Sabtu, 18 Juli 2020

Catatan

PRIVATISASI RUANG PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN AGRARIA : KASUS JUAL BELI PULAU DAN KOMERSIALISASI DAERAH PESISIR BALIKPAPAN


Seiring dengan pemindahan ibukota baru, penjualan tanah dan pulau semakin massif terjadi. 

Hal itu dikhawatirkan dimanfaatkan oleh segilintir pejabat lokal untuk mendulang keuntungan atau memperkuat posisi politik dimasa mendatang.


Terbaru ini, publik dihebohkan dengan adanya praktik jual beli pulau dikawasan Sulawesi Barat, yang melibatkan politikus lokal dari Ibu Kota Baru, Abdul Gaffur Mas'ud Bupati Penajam Paser Utara.


Pulau tersebut bernama pulau Malamber yang terletak digugusan pulau Balabalakang provinsi Sulawesi barat. Secara administrasi pulau Malamber berada di Kecamatan Balabalakang Kabupaten Mamuju. Namun secara geografis, pulau tersebut berada di selat Makassar, lepas pantai timur pulau Kalimantan, tepatnya ditengah-tengah antara pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi.


Gugusan pulau Balabalakang tercatat seluas 1,45 KM persegi yang dihuni oleh mayoritas suku Bajau, sebuah suku yang dikenal hidup dikawasan perairan. 


Selat-selatnya yang dangkal memberikan keuntungan berupa hasil laut yang melimpah,  karena keindahan alamanya dan memberikan sumber daya perikanan yang melimpah, membuat tak sedikit pihak yang ingin memiliki pulau-pulau dikawasan ini. Penjualan pulau Malamber adalah bukti dari hal tersebut.


Namun sejauh ini, seperti apakah perlindungan terhadap warga pesisir yang harusnya menikmati kebebasan di kawasan pulau yang dikomersialisasi tersebut ?

Pradarma Rupang Dinamisator Jatam Kaltim dalam ruang diskusi virtual mengatakan jual beli pulau yang marak terjadi ini melibatkan banyak pihak mulai dari oligarki dan pejabat lokal. 

Selain itu, nantinya akan ada perebutan ruang pesisir, akibat privitasasi pulau yang harusnya menjadi ruang gerak masyarakat pesisir. 


Tidak dapat dipungkiri bahwa jual-beli pulau yang ada di daerah pesisir Pulau Sulawesi tersebut sangat menguntungkan, mulai dari strategis sebagai lokasi penyaluran logistik, hingga pemindahan ibukota baru.


Sebelumnya Jual beli Pulau Ini pertama kali diketahui dari pemberitaan media Sulawesi Barat. Dugaan itu semakin diperkuat dengan adanya pengakuan pejabat setempat mulai Camat hingga ke Polres. Dari situ kemudian muncul bahwa ada rencana penggunaan sekat-sekat daerah pesisir oleh pejabat setempat. 


Lebih lanjut Pradarma Rupang mengatakan bahwa berdasarkan amatan JATAM, sepanjang pantai Balikpapan telah di Kavling dan diberikan izin untuk melakukan penimbunan berkedok Coastal road sepanjang 8500 meter dari pelabuhan Semayang hingga ujung landasan Bandara Sepinggan.

Proyek ambisius ini tentu bukan untuk warga Balikpapan, namun akan menghilangkan sempadan pantai dan merampas ruang nelayan serta masyarakat pesisir.


PRAKTIK JUAL BELI PULAU MELANGGAR KONSTUTUSI RI


Haris Retno Susmiati, Dosen Hukum Universitas Mulawarma, mengatakan bahwa praktek jual beli pulau-pulau kecil di Indonesia, terutama di kota Balikpapan merupakan suatu pelanggaran konstitusi.


Sebagaimana dalam undang-undang dasar ayat 33 pasal 3 yang tertulis "Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Menurut Haris, kepemilikan pulau kecil di wilayah Indonesia secara pribadi, tidak sesuai dengan pasal 36, 37, 42 43, 44, dan 45 dalam undang-undang nomor 27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 


Dalam undang-undang ini juga diatur bahwa batas pasang atas pulau dan batas pasang bawah pulau, adalah milik publik dan tidak dapat diperjual belikan. 


Lebih jauh diatur pula bahwa pulau-pulau kecil hanya dapat dimanfaatkan dalam kepentingan riset, pendidikan dan wisata bahari.


Sementara itu, Dianto Bachriadi anggota Komnas HAM mengecam praktek jual beli pulau yang marak terjadi saat ini. Menurutnya dalam proses jual beli sektor agraria, Tidak ada satupun konstitusi yang memperbolehkan jual beli ruang publik menjadi milik pribadi.


Hal itupun menjadi sangat janggal, karena sampai saat ini, masih saja ada izin dari pemerintah daerah untuk melakukan praktik itu.

Indikasinya adalah karena para pemegang kepentingan atau kaum kapitalis semakin ingin memperkaya dirinya sendiri tanpa memikirkan masyarakat yang terdampak. Serta semakin menciptakan sekat-sekat baru kapitalisme.


Nita Rahayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar